Tuesday, September 14, 2004

RENUNGAN TAHLILAN 7 HARINYA MUNIR,SH

In Memoriam Munir, SH:
Agama Harus Menjadi Maslahat bagi Manusia

Selasa, 7 September lalu, Indonesia kehilangan seorang sosok pejuang HAM yang integritas dan dedikasinya sulit dicari tandingnya: Munir,SH. Ia dipanggil Yang Mahakuasa saat dalam perjalanan menuju Belanda untuk keperluan studi. Sesuai namanya, hidup Munir selalu diabdikan untuk menjadi "penerang" bagi orang-orang yang lemah dan dilemahkan; mereka yang diciduk dan dirampas hak-hak asasi mereka. Seperti telah kehilangan syaraf takut, Munir tak pernah menyerah, tetap menyuarakan dan membela kepentingan mereka yang lemah, sekalipun harus berhadapan dengan pelbagai ancaman. Lantas apa yang menjadi falsafah hidup mantan aktivis LSM Kontras, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan (terakhir) Imparsial itu, sehingga tetap gigih menentang penindasan, kekerasan negara, dan ketidakadilan?

Demi mengenang dan memberi penghormatan kepada Munir, Jaringan Islam Liberal kembali menyuguhkan sepetik wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Munir seputar falsafah hidup dan pergulatan imannya. Berikut
petikannya.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Mas Munir, sebagai pejuang HAM, Anda tentu memiliki pandangan yang menarik tentang bagaimana Islam bermakna dalam profesi Anda. Dapatkah Anda menceritakannya?
MUNIR: Saya kira begini, dulu saya pernah mengikuti jalur beragama ekstrem, yang "radikal." Kurang lebih 5 hingga 6 tahun, antara tahun 1984-1989, isi tas saya tidak pernah kosong dari senjata tajam. Itu atas nama pertikaian agama. Sebetulnya, ketika saya berada dalamruang ekstremitas agama, ada semacam perasaan kehilangan fungsi agama itu sendiri. Misalnya, saya mempertanyaakan: Apakah benar, Islam memerintahkan saya untuk menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan atau menutup diri dari komunitas lain? Pada masa itu, mulai ada pertentangan dalam diri saya: Apakah Islam itu untuk Allah ataukah untuk manusia atau untuk membangun masyarakat secara umum? Dalam situasi tarik-menarik pada masa itu, saya menemukan bahwa agama diturunkan untuk manusia. Saya setuju dengan Gus Dur, kalau Tuhan tidak perlu bodyguard untuk mengawal diri-Nya. Intinya, agama harus menjadi maslahat bagi manusia. Seringkali kita bicara masalah rahmat Islam untuk semesta, tapi kita tidak tahu maknanya. Akhirnya, ekstremitas itu saya tinggalkan karena saya tidak mungkin menjadi komunitas yang eksklusif. Karena Islam harus mendukung peradaban, maka dia harus bekerja pada wilayah-wilayah yang memang memperbaiki kehidupan manusia. Agama dipergunakan untuk memperbaiki kehidupan. Sebaliknya, ekstremitas beragama itu bisa menghancurkan peradaban manusia. Intoleransi, apapun bentuknya akan menghancurkan peradaban.Banyak orang beranggapan bahwa mereka sedang membangun. Akan tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban.
--------------------

Sebuah pandangan seorang yang mengerti betul apa itu perjuangan melalui agama, bukan sekedar perjuangan buta mata demi agama, itu goblok lebih goblok dari orang yang ga ngerti agama. Kalo ditanya apa benar perjuangan agama selalu masuk surga? well pendapatku itu tidak selalu begitu mudahnya, yang jelas semua hasil yang baik melalui sebuah cara2 yang baik pula, betul?
selamat jalan Munir, semoga ada penggantimu yang mampu belajar dari semua yang telah kamu lakukan.....